PADANG, SUMBARKITA – Tepat pada hari ini, 2 Agustus 1958 Ilyas Ya’kub yang merupakan pejuang, ulama, politisi, penulis, dan wartawan asal Pesisir Selatan (Pessel) menghembuskan nafas terakhirnya di umur 55 tahun.
Ia lahir di Asam Kumbang, Bayang, Pesisir Selatan pada 14 Juni 1903 silam. Atas perjuangan dan rekam jejaknya, Ilyas Ya’kub mendapatkan gelar Pahlawan Nasional sejak 16 Desember 1968.
Selain itu ia juga dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana, sebuah penghargaan yang diberikan kepada tokoh-tokoh yang secara luar biasa menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejarah Singkat Ilyas Ya’kub
Pendidikan pertamanya dimulai di surau yang diasuh kakeknya, Syekh Abdurrahman. Setelah dari sana, Ilyas melanjutkan pendidikan ke Gouvernement Inlandsche School (GIS) di Asam Kumbang.
Tamat dari GIS, ia bekerja sebagai juru tulis di tambang batubara Ombilin, Sawah Lunto selama dua tahun (1917-1919).
Setelah dua tahun bekerja itu, ia kembali belajar di surau yang diasuh Syekh Abdul Wahab yang di kemudian hari menjadi mertuanya.
Pada tahun 1921, Ilyas bertolak ke Makkah untuk menunaikan haji. Selama di Makkah ia menetap dan memperdalam ilmu agamanya. Ia melanjutkan perjalannya ke Mesir pada 1923. Ia tercatat pernah belajar dan terdaftar sebagai mahasiswa Al-Azhar.
Selama di Mesir, semangat anti kolonialismenya semakin menyala. Ia menggagas Riwaq Al-Jawi. Sebuah perkumpulan orang Indonesia-Malaysia dengan semangat nasionalisme dan anti-kolonialisme.
Ilyas Ya’kub juga aktif menulis di berbagai media di Kairo. Ia juga ikut menggagas Seroean Azhar dan Pilihan Timoer di Mesir. Kedua majalah ini tersebar luas di kalangan mahasiswa Indonesia-Malaysia di Mesir.
Melalui kedua media ini, Ilyas kerap menyerukan semangat anti-kolonialisme. Pergerakannya di Mesir membuat dia dicap berbahaya pemerintah kolonial Belanda.
Kurang lebih delapan tahun hidup diperantauan, pada tahun 1929 Ilyas memilih untuk kembali ke Indonesia. Setahun di Indonesia, Ilyas bersama sejumlah aktivis lainnya membentuk Persatuan Muslim Indonesia (PERMI).
PERMI saat itu menolak bekerja sama dengan Belanda. Dengan gabungan basis massa Islam dan nasionalisme dalam organisasi itu mereka memperjuangkan Indonesia dapat lepas dari jerat kolonialisme.
Pada tahun 1933, Ilyas Ya’kub dan sejumlah aktivis PERMI dipenjarakan di Muaro Padang selama kurang lebih sembilan bulan. Kemudian ia dibuang ke Boven Digoel.
Saat Jepang masuk ke Indonesia, Ilyas dipindahkan ke Australia. Saat itu, ia masih berstatus sebagai tahanan Belanda.
Meski Indonesia telah menyatakan kemerdekaan pada 1945, masa pengasingan Ilyas Ya’kub belum selesai. Ia tetap di Australia dan dipindahkan ke Kupang-NTT pada tahun 1946.
Dari NTT Ilyas kembali dipindahkan ke Labuan dan sempat dikarantina di pulau Saint-Jhon sebelum akhirnya dibuang ke Serawak, Brunei, dan kembali ke Labuan.
Pada tahun 1946 pengasingannya berakhir. Ilyas kembali ke Indonesia. Sekembali dari pengasingan itu, ia bergabung dengan pasukan republik yang berjuang mempertahankan kemerdekaan.
22 Desember 1949 Ilyas ikut berperan dalam deklarasi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Setelah pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia oleh Belanda pada 1949. Ilyas Ya’kub pernah menjadi anggota parlemen dan ikut menjadi penasihat Gubernur Sumatra Tengah.
Pejuang, ulama, dan penulis ini tutup usia pada 2 Agustus 1958. Ia wafat di Koto Barapak, Bayang, Pesisir Selatan, Sumatra Barat.
Editor: RF Asril