SUMBARKITA.ID – Jika hari ini masyarakat takut menghindar dari narkotika, psikotropika, dan obat terlarang atau yang biasa disingkat Narkoba. Namun di era Perang Kemerdekaan Ri 1945-1949, ternyata Narkoba sangat dibutuhkan.
Di zaman yang penuh perjuangan yang berdarah ini, Narkoba menjadi suatu komponen penting sebagai income keuangan negara. Bahkan pemerintah secara sengaja mendirikan pabrik narkoba.
Nantinya, narkoba ini dibawa ke pasar gelap di Singapura dan dibarter dengan senjata maupun pesawat tempur.
Di era Perang Kemerdekaan RI, narkoba lebih dikenal dengan nama Candu. Terdiri dari Opium, Ganja dan jenis Narkoba lainnya.
Di Sumatera Barat, terdapat 3 pabrik Candu yang resmi dilegalkan pemerintah. Yakni di Kota Padang (Simpang Lippo – bangunan sebelah Plaza Andalas Saat ini), Sijunjung (Kiliran Jao) dan Pasaman Barat (Simpang Empat). Namun operasi Pabrik Candu di Kota Padang tidak berjalan maksimal. Karena kerap mendapat gangguan dari Militer Belanda.
Keberadaan pabrik candu ini sendiri di inisiasi oleh Wakil Presiden Ri, M. Hatta dan menteri Keuangan A.A Maramis. Melalui Keputusan Wakil Presiden/Menteri Keuangan ad interim Nomor 73/WKP/Sum/48) pada November 1948. Bank Negara Indonesia diizinkan untuk menggunakan dana hasil penjualan candu.
Dalam buku “Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I. Di Minangkabau/Riau 1945-1950” jilid ke-2, kala agresi militer Belanda pertama kali meletus (1947), sudah terdapat 32 peti candu di Bank Negara Indonesia Bukittinggi.
Dari 32 peti candu tersebut, 17 peti diserahkan ke Gubernur Militer Sumatera Barat, sementara 15 peti dimanfaatkan oleh Komando Sumatera.
Sebelumnya, candu-candu memang sudah hilir mudik dari Sumbar ke Singapura yang diselundupkan oleh Kapten Adham Yatim dan Zachlul Zen.
Hasil dari penyelundupan itu digunakan untuk membiayai keperluan perang kemerdekaan. Antara lain membiayai para pilot Indonesia yang berlatih ke India, membeli suku cadang pesawat A.U.R.I. di Bukittinggi, dan berbagai alat untuk angkatan bersenjata lainnya.
Penyelundupan candu ini melalui jalur sungai. Dimana Candu yang berasal dari Pasaman Barat akan bermuara di Sungai Siak. Sedangkan Candu dari Kiliranjao bermuara di sungai Indragiri. Kemudian candu tersebut di barter dengan senjata di Singapura.
Senjata yang diperoleh, akan didistribusikan untuk perjuangan wilayah Sumatera Tengah (Sumbar, Riau, Jambi).
Selain sebagai alat Barter senjata, candu ditukarkan dengan uang. Kemudian uang tersebut dimanfaatkan untuk membayar gaji pegawai dan aktivitas para pejuang.
Setelah Indonesia merdeka 100 persen, aktivitas Pabrik Candu di Sumbar pun ditutup. Mengingat Candu cukup berbahaya dikonsumsi oleh masyarakat lokal. Apalagi sudah ada konvensi PBB tentang psikotropika tahun 1971, didukung dengan disahkannya UU Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika yang melarang keberadaan candu/Narkoba.
Peraturan terbaru mengenai narkotika di Indonesia yakni UU Nomor 35 Tahun 2009, dimana opium masih ditetapkan sebagai zat terlarang, bersamaan dengan tanaman lain yang memiliki sejarah panjang di Pulau Sumatera, yakni ganja. (*)
Editor : Hajrafiv Satya Nugraha