PADANG, SUMBARKITA – Otonomi Daerah (Otda) dan mayoritanisme yang mengacu kepada jumlah suatu populasi dinilai dapat memicu konfilk keberagaman dan keberagamaan yang sudah terpelihara sejak lama di Indonesia.
Hal itu disampaikan salah seorang penggerak Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN Imam Bonjol, Aidil Aulya dalam diskusi bertajuk Merdeka dalam Keberagaman yang digelar Gusdurian Padang, Sabtu (20/8/2022).
Menurut Aidil terdapat beberapa hal yang dapat menggerogoti kerukunan dan keberagaman di Indonesia saat ini.
“Ancaman pertama datang dari dinamika otonomi daerah. Otda cenderung memberi ruang untuk menghadirkan kebijakan yang diskriminatif,” kata Aidil.
Mayoritanisme, kata Aidil, juga dapat menjadi ancaman bagi moderasi beragama. Seolah, kelompak mayoritas mendapatkan prioritas.
“Ini efek buruk dari demokrasi. Memang sampai sekarang belum ada sistem yang lebih baik dari demokrasi untuk menjamin kebebesasan berpendapat, tapi demokrasi bukanlah sistem terbaik,” ungkapnya.
Sementara itu, klaim kebenaran dari suatu pihak juga dinilai Aidil dapat menjadi salah satu ancaman terhadap keberagaman di tengah masyarakat.
“Memaknai bahwa kebenaran hanya berada dalam kelompoknya saja. Kemudian disengaja atau tidak, pihak-pihak tertentu mengakomodirnya ke dalam kepentingan politik dan ekonomi,” paparnya.
Ancaman terakhir menurut Aidil berasal dari sisi penegakan hukum. Ketidaktegasan hukum terhadap tindakan-tindakan diskriminatif membuat praktek intoleransi terus berulang dan makin berkembang.
Aidil menjelaskan keberagaman dan keberagamaan Indonesia merupakan sebuah modal sosial dalam merawat kesatuan Bangsa Indonesia.
Konsep Bhinneka Tunggal Ika merupakan kesepakatan awal dalam pembentukan Republik Indonesia. Para pendiri bangsa, kata Aidil, telah mampu melewati berbagai segmentasi dan tantang.
“Baik itu segmentasi berbasis rasial maupun segmentasi dari berbagai indikator lain. Bhinneka Tunggal Ika merupakan modal sosial dalam merawat keberagaman di Indonesia,” pungkasnya. (*)
Editor: RF Asril