Oleh: Sri Mulyani*
Ranah Minang dikenal dengan kearifan budaya yang khas. Filosofi “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah” bukan sekadar untaian kalimat, tapi dulunya menjadi napas kehidupan masyarakat Minangkabau. Sebuah nilai luhur yang menjadikan agama sebagai penuntun adat, dan adat sebagai penyaring perilaku.
Namun hari ini, falsafah itu seakan menjadi slogan semata. Kasus kejahatan seksual terhadap anak semakin sering mencuat di Sumatera Barat. Ranah yang dulu dikenal sejuk karena adab dan ketertibannya, kini justru kerap menampilkan wajah kelam: kekerasan, pelecehan, bahkan pemerkosaan terhadap anak-anak, sebagian besar dilakukan oleh orang terdekat korban.
Sejumlah laporan media membuktikan ini bukan ilusi. Seorang ayah di Agam divonis 8 tahun penjara karena memperkosa anak kandungnya (Kompas, 27 Mei 2025). Di Pariaman, kisah serupa bahkan dilakukan sejak anak duduk di bangku SMP (SumbarKita.id, 11 Juni 2025). Di Pasaman Barat, seorang tetangga mencabuli anak di bawah umur (SalingkaMedia, 11 Juni 2025). Ini hanya secuil dari kenyataan yang terungkap. Sisanya bisa saja tenggelam dalam gelapnya data dan trauma korban.
Akar Masalah: Sekularisme, Kemunduran Sosial, dan Hilangnya Rasa Malu
Ketika adat kehilangan ruh agama, dan agama tak lagi menjadi pedoman hidup, masyarakat terjebak dalam gelombang liberalisme yang tak berbatas. Gaya hidup bebas ala Barat masuk tanpa filter, diikuti lunturnya tradisi seperti sumbang 12, yang dulu mengatur adab pandang, berpakaian, dan pergaulan.
Faktor lainnya ialah mudahnya akses ke konten pornografi, minimnya pengawasan, serta lemahnya hukuman bagi predator seksual. UU 12/2022 tentang TPKS memang menjadi kemajuan. Tetapi jika tak disertai efek jera, regulasi hanya berakhir pada tumpukan dokumen.
Di sisi lain, pemahaman agama anak-anak kian menipis. Mushola dan surau yang dulu menjadi tempat pembinaan karakter kini sepi dari aktivitas. Konten media lebih berpengaruh daripada nasihat guru mengaji.
Harus Ada Solusi yang Menyeluruh
Perlu langkah extraordinary untuk membalikkan arah. Pertama, seluruh pihak harus sepakat bahwa predator anak adalah ancaman serius bagi keberlanjutan peradaban. Mereka bukan sekadar pelanggar hukum, tapi perusak masa depan.
Pemerintah, baik daerah maupun pusat, harus memutus akses pornografi dan mendesain kurikulum pendidikan yang kembali pada akar nilai moral dan agama. Pendidikan karakter berbasis syariat bukan hanya pilihan, tapi keharusan di daerah seperti Sumatera Barat yang dikenal religius.
Keluarga sebagai benteng pertama mesti diberikan pendampingan dan edukasi. Orang tua wajib mengajarkan adab, bukan hanya prestasi. Pengawasan digital harus diperkuat, dan keterbukaan komunikasi dengan anak perlu menjadi budaya baru.
Masyarakat, sebagai satu kesatuan sosial, wajib menghidupkan kembali budaya saling menasehati, bukan saling abai. Tradisi badoncek, musyawarah, dan pengawasan sosial mestinya kembali jadi alat kontrol sosial yang kuat.
Lembaga adat dan tokoh agama harus kembali menjadi rujukan utama. Adat Minang punya perangkat nilai yang luar biasa seperti sumbang 12 dan pepatah bijak yang menjadi tameng moral. Tinggal bagaimana falsafah itu dihidupkan kembali, bukan disimpan sebagai arsip budaya.
Waktunya Kembali ke Falsafah Asli Minangkabau
Adat Minangkabau bukan sembarang adat. Ia dibangun dari syariat. Ketika syariat ditinggalkan, adat kehilangan arah. Maka jangan heran, jika ranah Minang hari ini tak lagi ramah untuk anak-anak.
Solusinya bukan sekadar menambah hukum positif. Tapi membangun kesadaran kolektif bahwa Al-Qur’an harus kembali jadi panglima, bukan sekadar simbol di dinding rumah. Hanya dengan cara itu ranah ini bisa kembali menjadi tempat aman, sejuk, dan penuh berkah bagi generasi mendatang.
“Alam takambang jadi guru. Tapi kalau guru ditinggal, murid pun hilang arah.”
*Penulis adalah pemerhati sosial dan generasi, tinggal di Pariaman.