Oleh : Shilva Lioni
Sebagai sebuah alat ekspresi, kehadiran sebuah bahasa pada hakikatnya cukup menarik. Melalui sebuah tuturan selalu terdapat banyak makna yang dapat dilukis serta rasa yang hadir dibaliknya.
Pada dasarnya, sebuah tuturan tidak hanya mengandung unsur internal kebahasaan semata seperti kata, frasa, tata bahasa dan makna gramatikal, namun lebih lanjut sebuah tuturan juga mengandung aksi didalamnya yakni sebuah daya tutur dikenal dengan istilah tindak tutur.
Fenomena penggunaan bahasa sebagai sebuah alat ekspresi dalam menyatakan sebuah deklarasi akhir-akhir ini menjadi hal menarik untuk disoroti.
Umumnya, menyatakan sebuah deklarasi bermakna ketika seseorang ingin menyebutkan bahwasanya sesuatu adalah seperti yang diyakininya dan akan berjalan seperti yang diyakininya pula. Dengan demikian, tentu dalam mendeklarasikan suatu hal biasanya selalu diiringi dengan keoptimisan, keberanian, dan keyakinan kuat yang hadir menjadi dasar dari sebuah deklarasi yang dihasilkan. Penggunaan kata-kata yang bernuansa positif dan semangat positif tentu menjadi penting dalam pemberian sebuah deklarasi. Lalu pertanyaannya, bagaimana jika seorang penutur mendeklarasikan sesuatu hal yang belum terjadi?
Jika dicermati secara lebih lanjut, akhir-akhir ini bahasa deklarasi seringkali hadir dan dimanfaatkan dalam bahasa politik utamanya yakni pada slogan-slogan kampanye. Sebagai sebuah alat ekspresi untuk mendeklarasikan suatu hal yang belum terjadi, kehadiran bahasa dalam hal ini seringkali dimaknai dengan beragam makna oleh pembacanya baik itu ada yang memaknainya sebagai hal positif yakni sebagai sebuah doa, sebuah harapan, atau bahkan memaknainya sebagai hal negatif yakni sebagai sebuah keangkuhan atau kesombongan. Sebagai contoh dalam slogan-slogan kampanye berikut ini, “No. 3 pasti menang”, “Selamat datang presiden RI 2024”, “Indonesia pasti maju 2024”.
Pada ketiga judul diatas, kita dapat melihat bagaimana penggunaan kata “pasti” yang disandingkan dengan tahun-tahun yang akan datang dalam tuturan dapat dimaknai sebagai sebuah perbuatan untuk meramalkan sesuatu yang belum terjadi namun disebutkan secara optimis seakan-akan itulah yang akan terjadi.
Jika dicermati secara lebih lanjut, penggunaan kata “pasti” yakni untuk membicarakan suatu peritiwa dimasa yang akan datang dinilai memiliki daya yang lebih kuat dalam menekankan sesuatu dalam sudut pandang ilmu linguistik dibandingkan penggunaan kata-kata lainnya yang setara dalam hal defenisi makna leksikal seperti kata “yakin”, “insyaAllah”, dan “bisa”.
Ibaratnya, penggunaan kata pasti mendeskripsikan sesuatu akan terjadi dengan presentase penuh dan optimisme tinggi dibandingkan penggunaan kata lainnya seperti “yakin menang”, “insyaAllah menang”, “semoga menang”, “bisa menang”, dan “mudah-mudahan menang”.
Pemilihan kata “pasti” meski memperlihatkan keoptimisan yang besar, pada dasarnya masih menuai pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat. Dibandingkan melihatnya sebagai sebuah optimisme dalam berbahasa, kata “pasti” justru seringkali diidentikkan dengan kesombongan dan rasa takabur pada masyarakat luas. Penggunaan kata “pasti” pada umumnya seringkali dianggap mendahului Tuhan karena seakan akan sudah mengatakan sesuatu yang belum pasti dan belum terjadi seakan akan berjalan sebagaimana yang dikatakan.
Lebih lanjut, fenomena ini seharusnya dapat menjadi catatan penting bagi penutur bahasa untuk hendaknya dapat mempertimbangkan setiap unsur bahasa yakni kata yang akan digunakannya beserta daya yang dibawanya dalam berbahasa agar tuturannya tersebut dapat dimaknai secara netral dan tidak dimaknai secara negatif. Jangan sampai tuturan yang awalnya diciptakan untuk memperlihatkan keoptimisan justru malah kemudian dimaknai sebagai takabur oleh pembaca sehingga slogan kampanye yang dicipta untuk mengajak masyarkat luas dalam memilih calon politik tertentu justru dimaknai secara negatif dan menjadi senjata makan tuan. ***
Penulis merupakan dosen Jurusan Sastra Inggris Universitas Andalas
KOMENTAR