Oleh: M. Afif Wafri*
Pagi yang seharusnya penuh tawa dan semangat belajar di Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar), berubah menjadi kepanikan. Anak-anak dari berbagai sekolah, yang menanti makan siang dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tiba-tiba harus menghadapi mual, muntah, dan sakit perut. Puskesmas dan rumah sakit menjadi penuh sesak, sementara guru dan orang tua berlari mengevakuasi anak-anak yang tak berdaya. Aroma nasi goreng dan telur yang semula menyiratkan perhatian pemerintah kini menjadi simbol kegagalan pengawasan. Realitas pahit itu mengingatkan kita bahwa niat baik, tanpa perencanaan matang, bisa berubah menjadi bumerang yang menimpa generasi muda. Itulah titik kritis ketika gizi gratis tidak otomatis sejalan dengan keamanan pangan.
Kronologi insiden menunjukkan bahwa pada awal Oktober 2025, lebih dari 108 siswa diduga mengalami keracunan makanan MBG, dengan 31 orang harus mendapatkan perawatan di RSUD Lubuk Basung, RSIA Rizki Bunda, dan beberapa puskesmas setempat. Dalam hitungan jam angka korban meningkat menjadi 113 orang sehingga pemerintah daerah menetapkan status kejadian luar biasa (KLB). Investigasi awal menyoroti sejumlah faktor: kebersihan dapur, penyimpanan bahan makanan, dan tidak adanya izin operasional resmi dari dapur penyedia. Ironisnya, dapur yang digunakan untuk menyiapkan menu anak-anak itu belum tersertifikasi. Nasi goreng, yang seharusnya menjadi simbol gizi, berubah menjadi simbol lemahnya pengawasan pemerintah. Masyarakat pun bertanya-tanya: Bagaimana mungkin program strategis nasional terhenti karena persoalan yang tampak sederhana?
Kasus di Agam bukanlah peristiwa tunggal. Laporan Dinas Kesehatan Sumbar sepanjang 2025 mencatat lebih dari 70 kejadian serupa, dengan total korban mencapai 5.900 anak di berbagai daerah di Indonesia. Data itu menegaskan bahwa persoalan MBG bersifat sistemik, bukan insiden terisolasi.
Dalam kerangka teori kebijakan publik, keberhasilan sebuah program ditentukan oleh desain realistis, implementasi terukur, dan evaluasi transparan. Namun, MBG tampak berjalan terburu-buru, dilahirkan oleh semangat populis, tetapi belum siap menghadapi kompleksitas logistik dan budaya lokal. Niat baik pemerintah pusat menjadi setengah jalan jika tidak disertai kesiapan teknis dan etika pelaksanaan yang memadai.
Paradox kebijakan sosial pun muncul di sini: program untuk mengurangi ketimpangan gizi justru memunculkan ketimpangan dalam keamanan pangan. Distribusi makanan yang panjang, fasilitas pendinginan minim, serta kurangnya pelatihan petugas dapur membuka peluang kontaminasi. Dalam teori food safety governance (Timmer, 2014), keamanan pangan bergantung pada koordinasi antarlembaga yang konsisten, bukan hanya pada bahan atau resep. Fragmentasi pengawasan antara Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan vendor lokal menyebabkan tanggung jawab kabur. Akibatnya, setiap piring nasi yang seharusnya menyehatkan dapat menjadi ancaman tersembunyi bagi anak-anak yang polos.
Sumbar menjadi laboratorium sosial yang memperlihatkan rapuhnya sinergi kebijakan nasional di tingkat lokal. Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah, bahkan mengomentari dengan nada kritis, “Untuk makan siang kok nasi goreng?”—sebuah pertanyaan sederhana yang mencerminkan kekecewaan terhadap pilihan menu yang tidak sesuai standar gizi dan keamanan. Sindiran itu bukan sekadar humor, tetapi panggilan moral agar pemerintah memperhatikan setiap detail teknis. Kegagalan sederhana seperti kebersihan dapur bisa memicu krisis kepercayaan yang lebih luas. MBG tampak seperti rumah megah di atas fondasi rapuh indah dari luar, namun retak dari dalam jika aspek keamanan diabaikan.
Kegagalan implementasi MBG bukan hanya soal teknis pengawasan, tetapi juga soal hilangnya kepekaan moral terhadap prinsip kebijakan sosial. Dalam perspektif etika pemerintahan, keamanan pangan adalah hak asasi anak-anak, bukan layanan tambahan. Memberi makan tanpa menjamin keamanan sama dengan menaruh risiko pada generasi yang seharusnya dilindungi. Ketika ribuan anak mengalami keracunan, bukan hanya kesehatan mereka yang terganggu, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang dikhianati. Inilah harga mahal dari niat baik yang tidak disertai kehati-hatian dan kontrol yang ketat.
Pasca-insiden, publik dibuat resah meski pemerintah menyebut jumlah korban secara nasional hanya 0,00017 persen dari total penerima MBG. Statistik ini tampak kecil, tetapi tidak menghapus rasa sakit anak-anak yang menjadi korban. Sekali lagi, angka tidak cukup untuk menggantikan empati atau rasa aman yang hilang. Teori manajemen krisis menegaskan bahwa bahkan insiden kecil bisa merusak legitimasi jika tidak ada transparansi dan komunikasi yang efektif. Ketika publik merasa “ditenangkan” hanya dengan angka, kepercayaan mulai terkikis. Rasa aman yang hilang di benak masyarakat menunjukkan bahwa program ini membutuhkan perbaikan menyeluruh dari hulu ke hilir.














