Oleh: Fernando Wirawan
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (KEN), Luhut Binsar Pandjaitan, mengingatkan bahwa masyarakat yang belum membayar pajak akan dipersulit dalam mengurus administrasi, seperti pembuatan paspor (“Luhut Ingatkan Masyarakat yang Belum Bayar Pajak akan Dipersulit Urus Administrasi”, Asumsi.co, 10 Januari 2025). Pernyataan Luhut tersebut sembrono dan mengandung kekeliruan mendasar dari sisi hukum dan filosofi negara hukum. Target pemerintah dalam penerimaan pajak harusnya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pelayanan publik. Namun, yang terjadi ialah bahwa pemerintah malah melempar wacana yang mengangkangi logika publik.
Dalam konteks filosofi hukum tata negara, pernyataan Luhut bertolak belakang dengan konsep bahwa pemerintah tidak hanya bertindak sebagai penyedia layanan, tetapi juga sebagai pelindung hak-hak warga negara. Pernyataan Luhut tersebut merupakan contoh nyata bagaimana pemerintah bisa “tersesat” dalam merumuskan kebijakan karena mengabaikan prinsip-prinsip filosofi yang mendasar.
Pernyataan Ketua KEN tersebut mengandung beberapa kekeliruan. Pertama, wacana mempersulit administrasi warga negara karena belum membayar pajak sesungguhnya bertolak belakang dengan konstitusi. Sebagai contoh, pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) dan paspor merupakan hak sipil warga negara. Dalam hal itu pemerintah harus menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak warganya. Konsekuensi dari hak sipil tersebut ialah bahwa pemerintah harus menahan diri untuk mengintervensi kebebasan tersebut dan secara aktif memberikan layanan administrasi kependudukan.
Sehubungan dengan hal itu, Indonesia sebagai negara yang menganut falsafah Pancasila harusnya malu terhadap negara-negara lain yang menganut ideologi liberal, sebut saja Amerika Serikat. Negara itu memiliki sistem penegakan pajak melalui Internal Revenue Service (IRS). Dengan sistem tersebut, negara memberikan program kepatuhan sukarela, salah satunya Voluntary Disclosure Programs. Melalui program itu, masyarakat mendapat kesempatan untuk melaporkan pendapatan yang belum dilaporkan.
Kedua, dalam perspektif filosofi bernegara, mengancam warga negara mencerminkan cara pandang feodalistik yang bertolak belakang dengan konsep negara hukum bahwa hubungan negara-warga dibangun di atas premis pelayanan dan pelindungan, bukan ancaman dan pembatasan. Sehubungan dengan hal itu, perlu diingat bahwa kekeliruan dalam merumuskan kebijakan teknis masih bisa diperbaiki melalui evaluasi dan penyempurnaan. Namun, kesalahan dalam tataran filosofis mencerminkan masalah yang lebih mendasar dalam cara pandang pemerintah terhadap perannya sendiri. Hal itu bukan sekadar soal efektivitas kebijakan, melainkan juga menyangkut legitimasi moral kekuasaan pemerintah.
Ketiga, kebijakan semacam itu mencerminkan apa yang disebut Giorgio Agamben sebagai state of exception, yaitu negara menciptakan ruang abu-abu hukum untuk membenarkan tindakan yang sebenarnya problematis secara konstitusional. Ancaman administratif bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Pasal itu menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Lebih spesifik lagi, Pasal 23A UUD 1945 menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Prinsip itu menggarisbawahi bahwa setiap kebijakan perpajakan harus memiliki landasan undang-undang yang jelas.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), sanksi bagi wajib pajak yang tidak patuh telah diatur secara spesifik. Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur sanksi pidana bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan nomor pokok wajib pajak, atau tidak menyampaikan surat pemberitahuan. Sementara itu, Pasal 7 mengatur sanksi administratif berupa denda. Namun, tidak ada satu pun dalam undang-undang itu ketentuan yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membatasi layanan administratif sebagai bentuk sanksi.
Dari sisi penegakan hukum perpajakan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa telah mengatur mekanisme penagihan yang sah. Pasal 12 undang-undang tersebut memberikan kewenangan kepada juru sita pajak untuk melakukan penyitaan, tetapi tetap dalam koridor yang ditentukan undang-undang. Penambahan sanksi di luar yang telah diatur undang-undang berpotensi melanggar asas legalitas dalam hukum administrasi negara.