Oleh: Dewi Putri Handayani
Pulau Sipora di Kepulauan Mentawai bukan sekadar sebentang hijau di peta. Ia adalah rumah, sumber kehidupan, dan ruang spiritual bagi masyarakat adat Mentawai. Namun sejak Maret 2023, ruang hidup itu terancam oleh konsesi seluas 20.706 hektare yang diberikan kepada PT Sumber Permata Sipora (SPS). Di tengah krisis iklim global, ironi besar menganga: hutan primer yang seharusnya dijaga justru hendak ditebang atas nama investasi.
Gelombang penolakan terus bergulir. Masyarakat adat, aktivis lingkungan, akademisi, hingga tokoh agama menyuarakan keberatan atas ekspansi PT SPS. Mereka khawatir akan dampak ekologis, kehilangan ruang hidup, hingga trauma mendalam dari pengalaman eksploitasi hutan di Pulau Pagai, yang menyebabkan banjir, rusaknya lahan pertanian, dan konflik sosial berkepanjangan.
Lebih dari sekadar persoalan perizinan, kasus ini mencerminkan krisis cara pandang negara terhadap alam. Hutan diposisikan sebagai objek eksploitasi ekonomi, bukan sebagai amanah kehidupan yang harus dilindungi. Dalam Islam, hutan termasuk milik umum. Sabda Nabi Muhammad SAW menyatakan, “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud). Hutan hari ini, bagi masyarakat adat, adalah padang rumput masa lalu — ruang hidup yang tak boleh dikomersialisasi.
Negara tidak berhak memperjualbelikan hutan atau menyerahkannya kepada korporasi. Peran negara semestinya adalah sebagai pengelola amanah, bukan pemilik mutlak. Ketika hutan diserahkan kepada swasta, itu berarti merampas hak masyarakat dan menghancurkan tatanan ekologis yang telah dijaga turun-temurun.
Pagai Jadi Cermin Buram
Pulau Pagai menyimpan pelajaran pahit. Eksploitasi hutan oleh korporasi memicu bencana ekologis dan sosial. Kini, masyarakat Sipora tak ingin luka itu terulang. Penolakan mereka bukan sikap reaktif, melainkan bentuk keberanian menjaga masa depan.
Paradigma pengelolaan hutan yang menomorsatukan ekonomi tidak lagi relevan. Kita perlu membalik logika: hutan bukan tambang kayu, melainkan jantung kehidupan. Jika tunduk pada logika pasar, maka kehancuran adalah harga yang tak terhindarkan.
Solusi: Cabut Izin dan Lakukan Reformasi Ekologi
Langkah pertama yang paling mendesak adalah mencabut seluruh izin PT SPS—baik PBPH maupun teknis lainnya. Pemerintah harus mengaudit proses perizinan, mengevaluasi partisipasi publik dalam penyusunan AMDAL, dan mengungkap kemungkinan pelanggaran administratif maupun etis.
Kedua, negara wajib membuka ruang partisipasi sejati bagi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan lingkungan hidup. Bukan sekadar konsultasi formalitas, melainkan pengambilan keputusan berbasis persetujuan bebas dan diinformasikan (FPIC).
Ketiga, Indonesia membutuhkan reformasi total atas sistem perizinan sumber daya alam. Kita harus keluar dari jebakan ekonomi ekstraktif menuju ekonomi regeneratif—yang berpijak pada keberlanjutan, pemulihan ekosistem, dan pengakuan atas hak kolektif masyarakat adat.
Pendidikan ekologis juga menjadi kunci. Generasi mendatang harus dididik untuk memahami bahwa bumi bukan ladang eksploitasi, tapi warisan kehidupan yang harus dijaga bersama.
Sipora Bukan Milik Investor
Perjuangan warga Sipora adalah panggilan nurani. Jika hari ini kita diam dan membiarkan paradigma eksploitasi merajalela, maka kita sedang menggali kubur bagi generasi berikutnya.
Sudah waktunya negara berpihak pada rakyat dan bumi. Karena hutan bukan milik siapa-siapa. Ia titipan untuk semua.
*Penulis merupakan Pemerhati Sosial dan Generasi