Sumbarkita – Lapangan Imam Bonjol, yang kini menjadi salah satu ruang terbuka hijau (RTH) utama di Kota Padang, Sumatera Barat, memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Terletak di jantung kota, lapangan ini berbatasan langsung dengan Jalan Sudirman di sebelah barat.
Pada masa kolonial Belanda, kawasan ini dikenal dengan nama Plein van Rome atau Stadion Roma. Sebagai pusat kegiatan masyarakat, lapangan ini dikelilingi oleh berbagai bangunan penting, termasuk Balai Kota Padang yang menjadi pusat pemerintahan daerah pada masanya.
Simbol Budaya di Balik Arsitektur
Di bagian barat lapangan, berdiri sebuah tribun yang dikenal sebagai Balairung. Bangunan ini mengadopsi bentuk rumah adat Minangkabau, yaitu rumah gadang, dengan atap melengkung dan anjungan di setiap sisinya. Keberadaan Balairung tidak hanya berfungsi sebagai tempat duduk tribun, tetapi juga menjadi simbol kuat budaya Minangkabau yang masih lestari hingga kini.
Perubahan Nama dan Perjalanan Sejarah
Sejarah Lapangan Imam Bonjol cukup panjang. Pada masa kolonial Belanda, lapangan yang bernama Plein van Rome atau Lapangan Roma ini difungsikan sebagai alun-alun kota yang dikelilingi oleh kantor pemerintahan kolonial.
Pada masa pendudukan Jepang, kawasan ini sempat diberi nama Nanpo Hodo yang berarti “Angin dari Selatan.” Setelah Indonesia merdeka, lapangan ini dikembangkan menjadi sebuah stadion yang diberi nama Stadion Benteng. Nama tersebut merujuk pada Dewan Banteng, yang memiliki peran penting dalam dinamika politik dan militer di Sumatera.
Pada era 1980-an, Stadion Benteng dihancurkan setelah pembangunan Stadion Gelora Haji Agus Salim selesai. Seiring dengan perubahan tata kota, pada tahun 1995, kawasan ini dikembalikan menjadi ruang terbuka hijau dan diberi nama Lapangan Imam Bonjol. Nama ini diambil dari salah satu pahlawan nasional yang berperan besar dalam Perang Padri melawan kolonialisme Belanda.