Oleh: Nafrizal Eka Putra*
Pesisir Selatan di Sumatera Barat tidak hanya terkenal dengan pantai-pantai yang mempesona dan hamparan alam yang hijau, tetapi juga dengan budaya yang melekat kuat di tengah masyarakatnya. Kabupaten berjulukan “Negeri Sejuta Pesona” itu tidak hanya menawarkan keindahan bagi mata, tetapi juga memiliki kekayaan tradisi yang menyejukkan hati. Salah satu tradisi itu ialah makan juada, warisan budaya sederhana, tetapi penuh makna, yang masih bertahan di tengah perubahan zaman.
Makan juada hidup di tengah masyarakat Kampung Koto Gunung, Kenagarian Tuik IV Koto Mudiek, Kecamatan Batang Kapas. Tradisi itu muncul dalam rangkaian upacara perkawinan, tepatnya sekitar seminggu sebelum ijab kabul. Dalam bahasa Minangkabau, juada berarti kue atau panganan tradisional. Namun, dalam konteks adat, juada bukan lagi sekadar makanan, melainkan juga lambang kasih sayang, penghormatan, dan ikatan silaturahmi antara dua keluarga besar. Kue-kue yang dihidangkan merupakan hasil tangan masyarakat, bukan makanan mewah yang dibeli. Di situlah letak nilai kebersamaan. Setiap potong kue merupakan hasil gotong royong, kerja bersama, dan kebersamaan.
Proses makan juada selalu diawali dengan mempersiapkan juada dalam jumlah besar yang dilakukan oleh keluarga anak daro (pengantin perempuan). Tidak jarang jumlahnya mencapai ratusan potong.
Selain kue juada, terdapat berbagai jenis kue tradisional Minang, seperti lamang golek, onde-onde, kue lapis, bolu kukus, kue talam, atau kue berbahan beras ketan dengan santan dan gula aren. Pembuatan kue-kue itu menjadi sebuah peristiwa sosial tersendiri. Ibu-ibu dan tetangga datang membantu, anak-anak kecil ikut berlari riang sambil menyaksikan pembuatannya, sementara laki-laki menyiapkan tempat dan perlengkapan hantaran. Suasana hangat terasa ketika adonan diaduk, loyang dipanaskan, dan aroma kue mulai menyeruak dari dapur rumah gadang. Semua orang sibuk dengan peran masing-masing. Di situlah kebersamaan bersemi.
Setelah selesai dibuat, kue ditata di atas dulang-dulang besar, kemudian diantarkan ke rumah keluarga marapulai (pengantin laki-laki) pada sore hari. Rombongan pengantar biasanya terdiri dari keluarga dekat anak daro, ditemani suara tawa dan obrolan ringan sepanjang jalan.
Sesampainya di rumah marapulai, dulang-dulang tersebut diterima dengan penuh hormat. Acara belum selesai di situ. Malam harinya, keluarga marapulai mengundang penghulu, mamak, sumando, pemuda, dan masyarakat sekitar untuk duduk bersama guna menikmati juada.
Itulah inti dari tradisi makan juada, yaitu bahwa semua orang duduk bersama, menyantap kue dengan suasana penuh keakraban. Tidak ada perbedaan antara penghulu dan pemuda, antara keluarga dekat dan orang kampung. Semuanya sejajar, semuanya sama. Pepatah adat Minangkabau duduak samo randah, tagak samo tinggi menemukan wujudnya dalam peristiwa adat itu. Makanan menjadi perantara. Namun, yang lebih penting ialah nilai yang terjalin di baliknya, yaitu kebersamaan, kesetaraan, dan penghormatan.
Makan juada juga menghadirkan makna kesederhanaan. Bahan yang digunakan merupakan hasil bumi sekitar, seperti beras ketan, santan kelapa, gula aren, pisang, atau tepung beras. Tidak ada yang mewah, tidak ada yang berlebihan. Namun, justru dari kesederhanaan itulah lahir kekayaan makna: kebahagiaan dan kebersamaan tidak memerlukan kemewahan. Cukup ada makanan yang dibagi bersama dan cukup ada senyum yang dibagi dengan ikhlas.















