Oleh: Sri Mulyani*
Kita sedang berada di titik di mana rasa aman masyarakat perlahan terkikis. Dalam beberapa bulan terakhir, Sumatera Barat diguncang oleh rentetan kasus kriminal yang tak hanya memprihatinkan, tetapi juga meninggalkan luka psikologis mendalam. Penjambretan yang menewaskan pelaku di Kota Pariaman dan kasus mutilasi sadis di Padang Pariaman menjadi bukti bahwa kekerasan kini hadir dengan wajah yang lebih gelap dan lebih bengis.
Kasus mutilasi tersebut bahkan membuka tabir baru: pelaku ternyata telah membunuh tiga orang, semuanya adalah teman dekatnya. Sebuah ironi yang memilukan di tengah budaya Minangkabau yang menjunjung nilai persaudaraan dan kemuliaan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Namun pertanyaan besar yang mengendap di kepala kita: mengapa kejahatan semakin tidak berperikemanusiaan?
Statistik Mengkhawatirkan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumatera Barat, sepanjang 2024 tercatat 1.794 kasus penganiayaan berat, 23 kasus pembunuhan, 76 kasus pencurian dengan kekerasan, dan 275 kasus pencurian kendaraan bermotor.
Angka-angka ini bukan sekadar deretan statistik. Mereka adalah cermin retaknya sistem sosial dan spiritual masyarakat kita. Tindakan kriminal bukan hanya meningkat secara kuantitas, tapi juga menunjukkan pola kekerasan yang semakin sadis, acap kali tak masuk akal.
Moral Bangsa dalam Krisis
Kita tak bisa membahas kriminalitas hanya dari sudut pandang hukum dan ekonomi. Sebab pada dasarnya, kejahatan lahir dari krisis moral. Banyak pelaku bertindak di luar batas nalar karena kehilangan kontrol, terputus dari nilai spiritual, dan tak memiliki arah hidup yang jelas.
Masyarakat modern kini hidup dalam gelombang besar liberalisme—kebebasan yang tak diikat oleh nilai. Agama dipinggirkan dari ruang publik, bahkan dari ruang privat bernama keluarga. Al-Qur’an dan ajaran agama dijadikan pajangan, bukan pedoman. Akibatnya, generasi muda kehilangan kompas moral.
Ironisnya, ketika kejahatan meningkat, kita hanya disodorkan solusi teknis: peningkatan patroli, revisi KUHP, pemasangan CCTV, dan lain-lain. Semua itu penting, tetapi tanpa perbaikan moral, semua hanya jadi tambal sulam.
Keluarga, Negara, dan Masyarakat Harus Bangkit
Kita butuh pendekatan holistik untuk menghentikan laju kejahatan yang kian brutal. Pertama, keluarga harus kembali menjadi madrasah utama, bukan sekadar tempat tinggal. Pendidikan agama dan akhlak mesti dikembalikan sebagai fondasi utama mendidik anak, bukan hanya sekadar tambahan pelajaran di sekolah.
Kedua, negara tak boleh netral terhadap moralitas. Hukum tak hanya soal prosedur dan sanksi, tetapi juga tentang nilai. Jika hukum tak mampu memberi efek jera, maka ia hanya akan jadi catatan administratif. Sistem hukuman perlu direvisi secara serius untuk mencegah kejahatan, bukan sekadar mencatatnya.
Ketiga, masyarakat sipil harus aktif kembali dalam membangun budaya saling menasihati dan peduli. Budaya permisif, acuh tak acuh, dan individualisme yang tumbuh subur di tengah masyarakat modern harus dilawan. Sebab dalam keheningan publik, kejahatan menemukan ruang untuk berkembang.
Kembali ke Akar: Aturan Tuhan
Dalam pandangan Islam, kejahatan seperti pembunuhan dipandang sangat serius. Al-Qur’an menyebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 178 bahwa qishash (hukuman setimpal) adalah bentuk keadilan dan perlindungan sosial. Hukuman bukan sekadar balas dendam, tapi cara Tuhan mengatur harmoni sosial.
Tentu, penerapan sistem hukum berbasis agama bukanlah hal mudah di negara pluralistik seperti Indonesia. Namun semangat nilai-nilainya perlu diadopsi, yakni bahwa keadilan bukan hanya soal pasal, tapi juga soal keberanian moral menegakkan kebenaran. Jika pelaku pembunuhan bisa keluar dengan mudah dari penjara, bagaimana mungkin korban dan keluarga merasa aman?
Penutup: Saatnya Berbenah secara Serius
Lonjakan kriminalitas bukan sekadar gejala sosial. Ia adalah cermin kegagalan kolektif — keluarga, negara, dan masyarakat — dalam menanamkan nilai, menjaga marwah hidup, dan membangun ketahanan moral. Kita telah terlalu lama bergantung pada solusi teknis dan lupa bahwa bangsa besar adalah bangsa yang kuat iman dan akhlaknya.
Saatnya bangsa ini kembali ke akar: agama, akal sehat, dan kepedulian sosial. Tanpa itu, jangan heran jika tragedi demi tragedi terus menghantui layar-layar berita kita.
Penulis adalah pemerhati sosial dan moralitas publik, tinggal di Pariaman