Jika kebencian itu, lanjut Andi, dimasukan ke dalam hati, menyala emosi dibuatnya.
“Saya berusaha maknai dengan positif. Setiap hujatan dan cercaan saya jadikan sebagai introspeksi diri. Toh, kita manusia biasa juga, bukan dewa atau malaikat di Kota Tabuik, tentu tak luput dari salah” katanya.
Memang, semenjak awal Andi memulai karir di dunia politik, ia tidak berada pada posisi yang nyaman. Sebagai insan tanah kelahiran Pandai Sikek-Tanah Datar, ia dinilai di Pariaman sebagai seorang pendatang.
Di Pariaman, Andi dikultuskan sebagai politikus imigran, orang barat yang datang di pesisir pantai. Wacana itu memang terdengar agak rasis.
“Nah, yang telah terjadi ini saya haqqul yaqin, telah tercatat di Lauhul Mahfudz, begitupun dengan jabatan sebagai ketua DPRD. Jabatan sementara dan harus dipertanggungjawabkan di hadap Allah,” katanya.
Andi mengutarakan, meskipun ia tidak lagi menjabat sebagai ketua DPRD, bukan jadi alasan untuk diam ketika kemampuannya dapat berguna bagi warga.
“Kendatipun saya dari ‘daratan’, namun darah saya tumbuh di kota ini. Tidak ada kata surut selagi masih bisa berguna. Kota Pariaman milik kita bersama, tanggung jawab kita bersama,” imbuhnya.