Keterangan tahun tertua tercatat pada 1560 dan rombongan ini dipimpin oleh Datuk Sutan Sangguno Dirajo.
Dari penyebaran penduduk tersebut ke berbagai arah mata angin, wilayah Batang Arau yang paling populer. Seiring waktu berjalan, Batang Arau pun semakin ramai dan menjadi pusat peradaban. Karena pergerakan ekonomi begitu maju di wilayah ini.
Untuk mengatur kehidupan masyarakat yang tertib, diangkatlah empat orang penghulu sebagai juru kunci yang dituakan.
Mereka yaitu Datuk Gunung Padang dari Suku Tanjung, Datuk Saripado Maharajo dari Suku Sumagek, Datuk Mangkuto Dirajo dari Suku Mandaliko dan Datuk Sari Marajo dari Suku Melayu.
Karena semakin ramai orang yang bermukim dan bersuku Minang juga, diangkat lagi empat Penghulu lagi.
Yakni Datuk Rajo Marah dari Suku Melayu, Datuk Bagindo Sakti dari Suku Jambak, Datuk Lelo Dirajo dari Suku Jambak terakhir Datuk Panduko Amat dari Suku Panyalai.
Para datuak yang 8 orang inilah yang kemudian dikenal sebagai Datuak nan Salapan Suku memimpin kawasan ini dan Datuak Sanggumo Dirajo menjadi Kepala Nagari. (Sofwan, 1987).
Sejak Abad 16, Batang Arau yang dulu dikenal sebagai Bandar Padang semakin ramai dikunjungi. Para saudagar dari Pariaman dan tiku banyak yang berlabuh di sini. Sampai akhirnya para pedagang dari Gujarat, Cina dan Eropa pun berdatangan ke sini.
Perdagangan di Batang Arau ini pernah dikuasai oleh Aceh pada abad ke 17. Aceh menguasai Bandar padang pada 1621. Saat itu penguasaan Aceh di Padang dipimpin Panglima Nando dan membangun enam benteng.
Panglima ini juga membangun Istana disekitar Muara Batang Arau. Kejayaan Aceh di Batang Arau ini tidak berlangsung lama. Hanya 44 tahun. Kerajaan Aceh ini babak belur setelah diserang oleh Pribumi yang dibantu oleh Belanda.
Pribumi menyerang melalui darat dari arah Ulak Karang. Sedangkan Belanda membantu menyerang dari arah laut. Aceh pun kalah dan mereka diusir dari Kota Padang.