Selain itu, pemulihan kerusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga menjadi perhatian.
“Hutan mangrove yang dikonversi untuk tambak udang atau kebun sawit menyebabkan pencemaran air laut dan sungai, seperti yang terjadi di Padang Pariaman,” jelas Wengki.
Walhi juga mendorong gubernur baru untuk menyusun peta jalan pemulihan tanah ulayat, terutama di wilayah dengan konflik agraria seperti Agam, Pasaman Barat, hingga Darmasraya.
Rifai, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai, memperingatkan agar pemerintah tidak menambah izin perkebunan atau kehutanan yang dapat memperburuk konflik.
“Jika gubernur ingin membawa kepentingan masyarakat Sumbar, maka jangan menjadi perpanjangan tangan kepentingan pusat,” tegasnya.
Krisis bencana ekologis akibat investasi yang tidak berbasis mitigasi juga menjadi sorotan. Walhi mendesak dilakukannya audit lingkungan secara menyeluruh untuk mengatasi masalah ini.
“Tambang Galian C di kawasan Air Dingin dan pembangunan di Lembah Anai adalah contoh pembangunan yang memperparah risiko bencana,” ungkap Wengki.
Jaka HB, Koordinator SIEJ Simpul Sumbar, menyampaikan bahwa pengawasan jurnalis terhadap isu lingkungan semakin kompleks. Ia menyebutkan beberapa data kritis, seperti kehilangan 15.000 hektare hutan per tahun di Sumbar dan abrasi yang terjadi di setengah garis pantai wilayah ini.
“Pernyataan presiden yang mendukung sawit tanpa takut deforestasi menjadi alarm besar bagi kita semua,” katanya.